Schiedam, 3 Mar 2012
Setelah berkelana selama seminggu. Disambut angin musim semi yang bertiup sepoi-sepoi, Alhamdulillah aku&keluarga selamat kembali ke rumah di Schiedam . Perjalanan yang menyenangkan, matahari yang bersinar cerah dengan temperatur sekitar 15-20C selama kami berkunjung ke Madrid dan Barcelona, Mufid dan Dira yang sehat wal'afiat dan pengalaman baru berinteraksi dengan lingkungan baru, bahasa Spanyol yang asing di telinga, tempat-tempat baru juga teman baru Mufid di hotel di Barcelona, Mate namanya dari Bukarest-Rumania yang beberapa hari terakhir selalu bermain bersama Mufid. Walaupun Mate ngomong bahasa Rumania sedangkan Mufid ngomong English atau Dutch tapi mereka tetap bisa main bareng. Seperti kata Mama si Mate "We dont know how they can communicate, they are just playing together" hehe....Kids.
Perjalanan ke tempat-tempat baru dengan budaya yang berbeda memang selalu menarik. Dan seingatku sejak aku masih duduk di bangku SMP, aku suka jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi dan itu terus berlanjut sampai sekarang. Sewaktu masih tinggal di Kisaran, salah satu tempat jalan-jalan favoritku kota Parapat yang berada di pinggir Danau Toba. Jaman kuliah aku sering main ke Bogor, aku suka dengan Kebun Raya yang asri dengan suara burung-burung dan gedung-gedung tua peninggalan jaman Belanda sambil bermimpi suatu saat aku bisa berkunjung ke Eropa. Dan ternyata sekarang itu bukan cuma mimpi hehehe....Tapi selalu ada rasa kangen dengan tempat yang bernama "RUMAH". Kangen dengan kamar tidurku yang nyaman, kangen dengan semua keseharianku dengan rutinitasku.
Sejak aku lahir di Padang, pindah ke Medan, TK sampai SMA di Kisaran, nge-kos di Bandung, pindah kos dan kerja di Jakarta, jadi penganten baru dan ngontrak rumah di Karawaci sampai pindah ke rumah sendiri di Tangerang, kerja dan pindah ke K.Lumpur, lanjut pindah ke Papendrecht dan akhirnya sekarang di Schiedam ada sekitar 20 rumah yang pernah aku diami, wow!!!!!! ga nyangka juga sebanyak itu bener-bener nomaden hahahaha....
Jadi arti rumah begitu relatif buat aku. Mungkin ada sebagian orang yang cuma pernah satu atau dua kali pindah rumah. Malah ada sebagian orang yang tinggal di rumah yang sama dari mulai lahir sampai dewasa, menikah dan punya anak sampai tua dan akhirnya meninggal dunia di rumah yang sama. Sedangkan aku terbiasa tinggal di beberapa rumah yang berbeda dalam rentang waktu yang relatif pendek. Dengan bercanda istriku pernah bilang kalo kita cuma punya koper dan baju :-)
Menjadi "nomaden" bagaikan coin yang punya dua sisi yang berbeda. Sisi positifnya, kita bisa melihat sesuatu hal dari kacamata yang berbeda. Secara ga sadar wawasan kita lebih terbuka dan lebih luas karena tuntutan keadaan yang mengharuskan kita beradaptasi dengan lingkungan sekitar kita. Culture shock atau benturan budaya merupakan ujian yang bagus buat kehidupan kita ke depannya. Aku bersyukur beberapa kali aku terhindar dari benturan budaya ini karena mengalami masa transisi. Aku ingat sewaktu aku baru pindah ke Bandung dan bergaul dengan masyarakat Sunda di Bandung. Cara bergaul ala Sumatera Utara yang apa adanya, bicara ceplas ceplos bertemu dengan budaya Sunda yang relatif lebih banyak tata krama dengan bahasa implisit. Untungnya lingkungan Sunda pertama yang aku kenal di sekitar kosan-ku di Sekeloa justru pemuda setempat yang notabene pengangguran dan tidak sekolah/kuliah, tiap hari kerjaannya cuma nongkrong, merokok dan main karambol. Bahasa gaul mereka yang mungkin dianggap kasar justru terdengar begitu halus di telingaku. Hampir tiap hari aku ikut nongkrong main karambol sambil belajar cara bergaul dan sedikit demi sedikit coba mengerti bahasa sunda. Ketika aku bergaul dengan teman-teman di kampus baru aku sadar ada perbedaan cara bergaul dan tutur bahasa dengan anak-anak nongkrong tadi. Kalo sebelumnya aku merasa Kisaran adalah RUMAH-ku, saat itu mulai merasa Bandung adalah RUMAH keduaku.
Begitu juga sewaktu aku pertama kali pindah ke K.Lumpur. Budaya yang berbeda dan pengaruh cerita-cerita negatif di media massa tanah air soal Malaysia justru menambah rasa ingin tauku soal masyarakat Malaysia yang sebenarnya. Kebetulan teman-temanku dikantor mayoritas orang melayu. Orang Melayu di Malaysia puya arti yang lebih luas. Kalo di Indonesia, orang Melayu itu berati suku Melayu berbeda dengan di Malaysia yang diterjemahkan lebih luas sebagai orang muslim non Cina/non India. Ternyata teman-teman di kantor juga punya rasa ingin tau yang tinggi soal orang Indonesia dan mayoritas dari mereka merasakan kedekatan emosional dengan Indonesia. Banyak yang dengan bangga mengaku sebagai orang Jawa, Minang, Bugis atau yang lain bahkan beberapa dari mereka masih sering berkunjung ke kampung halamannya di Indonesia. Pergaulanku dengan masyarakat Malaysia membukakan mataku kalo berita di media massa Indonesia dan Malaysia sering terlalu provokatif yang menyebabkan konflik diantara kedua negara. Akhirnya aku merasa Kuala Lumpur sebagai RUMAH-ku.
Hampir dua tahun tinggal di Belanda, rasa persaudaraan yang tinggi dengan teman-teman Indonesia di Belanda, asyiknya bergaul dan bertukar cerita dengan teman-teman dikantor yang berasal dari berbagai negara, bunga dan pepohonan serta burung-burung yang ada di hampir semua tempat di Belanda, membuat aku nyaman dan mulai merasa Belanda sebagai RUMAH-ku. Seperti pepatah Minang "Dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang". Yang artinya dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Selama kita bisa beradaptasi dan berusaha memahami budaya setempat Insya Allah kita akan merasa tempat kita tinggal sebagai RUMAH kita.
Walaupun tetap "There is no place like home"
Saturday, March 3, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment